Ruang Redaksi — Ada yang beda di LT3 PKM kampus UIN Alauddin sore itu. Bukan soal wangi kopi semata, tapi semangat yang menguar dari gelas-gelas kafein dan suara-suara lantang mahasiswa yang menolak tunduk. Lewat kegiatan bertajuk “Ngobrol Demokrasi dan Koperasi”, ruang baru bernama Kopi Kolektiv resmi dibuka.
Bukan sekadar tempat nongkrong, tapi ruang alternatif yang menyulut diskusi dan perlawanan.
Soft opening ini digagas oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Demokrasi (FOKMAD) dan Koperasi Mahasiswa Sultan Alauddin (KOPMA) dengan menghadirkan narasumber dari LBH Makassar.
Mereka tidak cuma menyajikan kopi, tapi juga kegelisahan yang dibungkus rapi lewat diskusi publik. Tema besarnya? Krisis demokrasi di kampus dan kritik tajam terhadap program pemerintah yang dianggap tambal sulam seperti Koperasi Desa Merah Putih.
Diskusi mengalir hangat setelah sesi cupping ringan, mengenalkan kopi sekaligus karakter perlawanan. Narasumber dari FOKMAD, KOPMA, dan LBH Makassar bergantian menyoroti pembungkaman suara mahasiswa, mengecilnya ruang demokrasi di kampus, sampai model koperasi yang dinilai lebih pro-investor ketimbang pro-rakyat.
“Koperasi itu lahir dari kebutuhan bersama, bukan disulap dari atas. Begitu juga demokrasi. Harus tumbuh dari bawah, bukan dimodali proyek formalitas,” ujar salah satu kader KOPMA tegas di tengah diskusi.
Sore bergulir, kopi dibagikan gratis ke pengunjung sebagai simbol solidaritas ekonomi kolektif. Musik akustik dari kader FOKMAD dan KOPMA ikut menyulut suasana, sebelum akhirnya acara ditutup dengan pembacaan rekomendasi sikap kolektif semacam manifesto kecil yang menegaskan bahwa mahasiswa belum habis.
Berikut lima poin tuntutan yang diluncurkan dari pelataran Kopi Kolektiv:
1. Mendesak pemerintah Provinsi Sulawesi Barat untuk mencabut izin tambang pasir di Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, karena berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan dan hak hidup masyarakat pesisir.
2. Menuntut transparansi dan akuntabilitas dana negara dalam program penguatan koperasi, termasuk evaluasi kritis terhadap program Koperasi Desa Merah Putih yang berpotensi menciptakan ketergantungan struktural dan mengabaikan semangat swakelola.
3. Menyerukan pentingnya revitalisasi koperasi mahasiswa sebagai ruang pendidikan demokrasi ekonomi dan basis gerakan sosial yang merdeka.
4. Mengutuk segala bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi dan skorsing terhadap mahasiswa yang memperjuangkan hak demokratis di kampus.
5. Mengajak seluruh elemen mahasiswa untuk menjaga kampus sebagai ruang publik yang terbuka, inklusif, dan demokratis.
Kopi Kolektiv menandai sesuatu yang lebih besar dari sekadar pembukaan kedai. Ia adalah simbol bahwa di tengah arus depolitisasi, masih ada ruang yang disusun untuk menyatukan perlawanan.
Di akhir kegiatan ditutup dengan pembagian kopi sebagai simbol ekonomi kolektif. Diiringi alunan akustik dari kader FOKMAD dan KOPMA di pelataran cafe kolektiv milik Kopma UIN Alauddin Makassar.(*)