Sarinah GMNI Polman Tuntut Penegakan Hukum Tanpa Diskriminasi Kasus Oknum Polisi di Polman

Sarinah GMNI Polman, Harvita (Foto: Istimewa)

Ruang Redaksi – Kasus dugaan pelanggaran etik yang melibatkan oknum polisi berinisial GB di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat menuai sorotan publik khususnya dari kalangan aktivis mahasiswa dan perempuan.

GB dilaporkan telah menghamili RN, seorang perempuan yang menjalin hubungan dengannya sejak Oktober 2024. Namun, dalam proses penanganan internal, ia hanya dijatuhi sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat dan penahanan selama satu bulan.

Bacaan Lainnya

Korban juga mengaku sempat mendapat tekanan dari GB dan pacarnya agar menggugurkan kandungan. Meski demikian, kasus tersebut hingga kini masih berhenti di ranah etik internal kepolisian, tanpa proses hukum pidana yang jelas.

Sarinah GMNI Polewali Mandar, Harvita, menilai sanksi tersebut sangat ringan dan tidak memberikan keadilan bagi korban.

“Sebagai perempuan, saya muak, marah, dan menolak diam! Apa artinya aparat berseragam bila justru menjadi pemangsa rakyat yang harusnya dilindungi? Menghamili seorang perempuan lalu melepaskan tanggung jawab, bahkan lebih kejam lagi memaksa untuk menggugurkan kandungan itu bukan hanya tindakan pengecut, tapi kejahatan yang melukai hati seluruh perempuan Indonesia,” kata Harvita dalam keterangan rilis yang diterima, Minggu (28/9/2025).

Lebih lanjut, Harvita menilai persoalan ini tidak hanya menyangkut perilaku individu, tetapi mencerminkan persoalan sistemik dalam penegakan hukum.

“Bagaimana mungkin seorang polisi yang seharusnya menegakkan hukum justru melecehkannya? Apakah hukum hanya tajam bagi rakyat kecil dan tumpul ketika menyentuh mereka yang berseragam? Perempuan tidak boleh terus menerus dipaksa menelan air mata, menanggung aib, sementara pelaku bebas melenggang tanpa rasa bersalah,” ujarnya.

Melalui pernyataannya, Sarinah GMNI Polewali Mandar mendesak agar kasus ini diproses secara hukum pidana, tidak berhenti pada sanksi etik semata. Ia juga menekankan pentingnya perlindungan hukum, layanan kesehatan, serta pemulihan psikologis bagi korban.

“Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Perempuan berhak atas ruang aman dan keadilan. Jangan sampai kasus ini menjadi preseden buruk bahwa aparat bisa lepas begitu saja setelah merusak hidup orang lain,” tutup Harvita.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *