Polewali Mandar – Di tengah zaman yang riuh oleh suara-suara yang ingin didengar, sosok ini hadir dengan cara yang berbeda. Tenang, sederhana, dan jauh dari gegap gempita. Ia seperti definisi dari kalimat yang kini sedang populer di media sosial. “Lelaki tidak bercerita, tiba-tiba …”
Hari ini, 30 Mei 2025, genap 100 hari sejak H. Samsul Mahmud dilantik sebagai Bupati Polewali Mandar. Sebuah momen penting, bukan hanya sebagai catatan waktu, tetapi juga menjadi tolok ukur awal dalam perjalanan pemerintahan.
Apa sebenarnya makna dari “100 hari kerja”? Dalam tradisi pemerintahan Indonesia, 100 hari kerja sering dijadikan ukuran awal untuk menilai arah, visi, dan konsistensi seorang kepala daerah. Bukan karena dalam waktu itu semua hal harus selesai, melainkan karena dari sinilah terlihat pijakan pertama menuju tujuan besar.
Perlu dicatat, 100 hari ini bukan “100 hari kerja” dalam arti hari aktif perkantoran. Ini adalah 100 hari kalender sejak pelantikan, termasuk akhir pekan dan hari libur. Sebuah ukuran waktu yang nyata, yang menjadi sorotan publik, media, dan kalangan birokrasi.
Yang menarik, berbeda dengan mayoritas kepala daerah yang beramai-ramai memproduksi konten, tampil di layar gadget masyarakat melalui berbagai platform media sosial, dari reels hingga FYP. Bupati Samsul Mahmud memilih jalan sunyi. Di akun media sosial resminya, hampir tak ada konten yang menonjolkan dirinya secara personal. Tidak ada pengambilan gambar dengan pencahayaan maksimal, tidak ada footage slowmotion menyapa warga, atau unggahan dengan musik latar yang menggugah. Mayoritas kontennya diambil dari dokumentasi bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan, seadanya, sewajarnya, sebagaimana mestinya.
Namun justru dari situ kejutan datang satu per satu. Tiba-tiba ia menyumbangkan beberapa hektar tanah milik pribadinya untuk Program Sekolah Rakyat, sebuah program nasional pendidikan berasrama bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Sekolah ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat tinggal, makan, dan bertumbuh. Visi besarnya jelas, memutus rantai kemiskinan lewat pendidikan yang bermartabat.
Belum habis kekaguman itu, muncul kabar bahwa tanah pribadinya juga ia hibahkan untuk pembangunan pesantren dan perluasan Universitas Al Asyariah Mandar (UNASMAN), perguruan tinggi terbesar di Polewali Mandar. Ia memilih memberi, bukan bercerita.
Dalam masa efisiensi anggaran yang diberlakukan pemerintah nasional hingga tingkat kabupaten, di mana kegiatan-kegiatan yang tidak bersinggungan langsung dengan program prioritas nasional banyak dipangkas, H. Samsul Mahmud justru menggunakan dana pribadinya untuk mendukung aktivitas pemerintahan. Lagi-lagi, tanpa pengumuman, tanpa siaran pers, tanpa sorotan kamera.
Pada saat yang sama, dalam diam, ia meluncurkan sebuah aplikasi bernama Halo Assami akronim dari Aspirasi, Solusi, dan Sistem Keluhan Masyarakat Interaktif. Aplikasi ini terintegrasi langsung dengan platform nasional bernama LAPOR (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat).
Sebuah sistem yang memungkinkan warga untuk menyampaikan laporan, keluhan, dan harapan mereka secara langsung dan real time. Aplikasi ini merupakan bentuk nyata dari komitmen Bupati untuk merespons cepat aduan masyarakat, membangun pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Halo Assami bukan hanya media penyampaian informasi, tapi juga menjadi ruang kontribusi warga dalam mewujudkan Polewali Mandar yang lebih baik melalui sembilan program prioritasnya. Polman Bebas Sampah dan Banjir, Wajib Belajar 9 Tahun, Majukan Desa dan Kelurahan, SD dan SMP Unggulan per Kecamatan,Cegah Stunting UMKM Baik Beasiswa untuk Keluarga Miskin Sehat untuk Semua dan tentu saja Industrialisasi Kakao Beberapa program telah mulai menunjukkan hasil. Penanganan sampah yang lebih sistematis, kegiatan pencegahan stunting yang digerakkan lintas sektor, menjadi bukti awal dari kerja yang terukur.
Di saat sebagian kepala daerah masih sibuk membangun pencitraan, Samsul Mahmud justru membangun fondasi. Di saat yang lain berisik mengabarkan “akan”, ia diam-diam “melakukan”.
Dan itulah mengapa, 100 hari Samsul Mahmud di Polewali Mandar menjadi lebih dari sekadar catatan waktu. Ini adalah kisah tentang pemimpin yang tidak bercerita, tapi tiba-tiba membuat hal besar yang kelazz<span;> dengan ketulusan, keberanian, dan dedikasi yang tak perlu dikemas dalam sorotan.
Karena pada akhirnya, pemimpin sejati adalah mereka yang menyalakan semangat bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat kerja yang menyentuh dan bermakna.
Menyala Abangku. Polewali Mandar memang sedang dituntun oleh cahaya yang tak riuh, tapi menyala terus di hati rakyatnya.
Oleh: Muhammad Narwis, M.A (Direktur Eksekutif Anreapi Institute)