Polewali Mandar – Ditengah teriakan yang lantang dan cucuran keringat untuk tetap melanjutkan nafas hidup ditempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi rakyat, justru kekuasaan sering mempertontonkan wajah bengisnya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Mobil polisi yang mestinya menjadi simbol perlindungan berubah menjadi kendaraan dengan jarak tempuh kekejaman, melindas harapan dan menindas kehidupan warga biasa.

Wilayah publik yang seharusnya netral kini kerap dipenuhi aroma represifitas, di mana roda-roda kekuasaan tidak lagi sekadar melaju, melainkan meninggalkan jejak luka di tubuh dan batin rakyat.

Ironi itu semakin terasa ketika aparat yang dilahirkan dari mandat konstitusi untuk melindungi, mengayomi, dan melayani justru hadir sebagai ancaman nyata di ruang publik. Alih-alih menjaga keselamatan rakyat, tindakan represif mereka menjadikan ruang bebas berekspresi, ruang bersama sebagai panggung kekuasaan yang arogan.

Dalam setiap dentuman sirine dan kilatan lampu rotator, terselip pesan bahwa hukum dapat dibelokkan, dan kekerasan dapat dipacu secepat laju kendaraan dinas. Dihadapan rakyat kecil yang tak berdaya, kekuasaan itu menjelma menjadi mesin tanpa empati, yang menggilas martabat sekaligus rasa aman masyarakat.

Tragedi itu mencapai puncaknya ketika seorang rakyat kecil, yang sehari-hari mencari nafkah sebagai pengemudi ojek online, harus meregang nyawa setelah dilindas mobil polisi. Hidupnya yang sederhana menjemput rezeki dari jalanan kota terhenti di bawah roda kekuasaan yang seharusnya melindungi.

Kematian itu bukan sekadar kecelakaan, melainkan potret nyata bagaimana aparat yang mestinya menjaga keselamatan rakyat justru menjadi penyebab utama hilangnya nyawa.

Di balik tubuh yang terbujur kaku, tersimpan ironi besar: rakyat bekerja untuk hidup, namun justru mati akibat kekejaman negara. Kematian itu bukan sekadar kecelakaan, melainkan potret nyata bagaimana aparat yang mestinya menjaga keselamatan rakyat justru menjadi penyebab utama hilangnya nyawa.

Kami mengecam keras tindakan represif aparat yang tidak hanya melukai, tetapi juga merenggut nyawa rakyat. Kekuasaan tidak boleh terus dibiarkan melaju dengan roda kekejamannya tanpa ada pertanggungjawaban.

Sudah saatnya negara menegakkan keadilan, menghentikan praktik arogansi, dan memastikan aparat kembali pada fungsi sejatinya: melindungi rakyat, bukan menindasnya. Perjuangan ini tidak akan berhenti di jalanan yang penuh darah dan air mata; justru dari tragedi inilah lahir tekad baru untuk terus melawan ketidakadilan.

Selama keadilan belum tegak, selama rakyat masih ditindas, perjuangan akan tetap berlanjut suara-suara perlawanan tidak akan pernah bisa dibungkam oleh sirine, gas air mata, ataupun ban-ban kekuasaan yang melindas.*

Opini: Mutmainnah/ Pengurus SAPMA PP Polman